Catching Fire

Kamis, 24 Januari 2013

Indonesia negara maju "baru"



Saat krisis moneter akhir 1990-an menyapu Asia, Indonesia harus meminta bantuan Dana Moneter Internasional atau IMF untuk keluar dari situasi ekonomi yang sulit. Sekarang, kita kita membalikkan situasi, Indonesia siap menyumbangkan satu miliar dolar untuk IMF. Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan tingkat pemasukan yang terus naik. Jumlah angkatan kerja yang besar dan berusia usia muda. Warga kelas menengah terus bertambah. Pemerintahan cukup stabil dengan kebijakannya pro investor. Situasi perbankan yang kokoh dengan cadangan devisa cukup banyak untuk bisa menyokong rupiah.
Bersama Filipina, Indonesia adalah “Macan Baru” Asia Tenggara. Kedua negara ini berpotensi membawa dampak besar dalam pertumbuhan ekonomi dunia beberapa tahun ke depan. Pada saat yang sama, negara-negara maju kesulitan menghadapi utang negara. Sementara itu, pasar kelas berat di Asia, seperti Cina dan India, kehilangan momentum.
“Perbedaannya sangat jelas terlihat, dan itulah mengapa kedua negara ini mencatat hasil baik,” ujar Andrew Swan, kepala Asia fundamental equities di BlackRock. “Tiga sampai lima tahun terakhir, pertumbuhannya sangat pesat. Tapi peluang untuk tumbuh masih sangat besar, dan laju pertumbuhan ini bisa bertahan lama.”
Dengan produk domestik bruto nyaris mencapai $850 miliar atau Rp 8.170 triliun, Indonesia adalah negara dengan ekonomi terkuat di ASEAN. Tapi menurut data Bank Pembangunan Asia atau ADB, separuh dari 241 juta penduduk Indonesia masih berpenghasilan di bawah Rp 20.000 sehari. Pembangunan di ibu kota Jakarta cukup pesat, tapi masalah infrastruktur masih menghantui Indonesia.
Jon Lindborg, country director ADB, berkata fokus ADB di Indonesia adalah pembangunan infrastruktur, serta membantu memupuk kemitraan swasta dengan negara di berbagai proyek.
“Negara ini telah beralih dari zona pinggiran ke tengah-tengah panggung dunia. Menurut saya, pemerintah saat ini lebih percaya diri dan lebih mampu fokus di agendanya,” ujarnya.
Namun, bagi investor ekuitas, pasar yang relatif kecil masih menjadi batu sandungan. Kapitalisasi pasar Indonesia senilai $410 miliar masih kurang dari separuh pasar Singapura atau Thailand. Nilainya bahkan lebih kecil dari Malaysia. Meski pemasukan tingkat korporasi meningkat pesat, pasar Indonesia harus lebih luas lagi. Bursa juga membutuhkan lebih banyak saham, agar ada pasokan untuk memuaskan potensi permintaan.
Pertumbuhan kredit masih lancar, dan Bank Indonesia memperkirakan angkanya mencapai 26% tahun ini. Tapi perusahaan dalam negeri akan sangat mengandalkan pertumbuhan pasar ekuitas untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang.
Antara 2007 hingga paruh pertama 2012, Dealogic mencatat ada 103 listing baru di bursa efek Indonesia dengan total nilai $11,06 miliar atau Rp 106,4 triliun. Jumlahnya tiga kali lebih besar dibanding nilai listing baru bursa Filipina atau Thailand pada periode yang sama. Tapi angka ini masih kalah dari Singapura dengan $23,07 miliar, atau bahkan Malaysia dengan $16,34 miliar.
Alvin Pattisahusiwa, chief investment officer Indonesia di Manulife Asset Management, berkata kapitalisasi pasar melonjak 10 kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Meski beberapa perusahaan besar masih belum masuk bursa, seperti raksasa minyak sawit Best Agro International dan produsen konglomerasi Wings Group, saat ini pasar lebih tepat mencerminkan kondisi ekonomi dibanding beberapa tahun lalu, ujarnya.
“Ekonomi digerakkan oleh konsumsi domestik, demikian pula bursa saham. Dalam tiga tahun terakhir, bursa umumnya digerakkan oleh saham produk konsumen,” kata Alvin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar