Meskipun lebih dari satu dasawarsa menjadi pilar penegakan hukum, tubuh
Polri masih dinodai jelaga hitam. Publik menilai kinerja aparat
kepolisian masih diwarnai oleh aroma suap yang kental. Kondisi tersebut,
menurut publik, dipengaruhi oleh sistem penegakan hukum yang lemah di
dalam institusi kepolisian.
Selama satu dasawarsa, penilaian
publik terhadap citra positif kepolisian terus berubah. Jajak pendapat
Kompas merekam penilaian terburuk terhadap citra Polri diberikan publik
pada masa-masa awal kemandirian Polri. Saat itu hanya 26,6 persen
responden yang memberi penilaian positif terhadap citra Polri. Tahun
2009, proporsi publik yang menilai positif meningkat dan mencapai titik
tertinggi. Ketika itu 57,1 persen responden menyatakan citra Polri
positif. Berbagai prestasi diukir terutama perannya dalam mengungkap
kasus terorisme.
Tahun ini, ketika usia Polri mencapai 66 tahun
dan saat pengungkapan kasus terorisme juga mulai berkurang, penilaian
terhadap citra positif Polri semakin turun. Hanya 46,1 persen responden
jajak pendapat ini memberi nilai positif terhadap citra Polri. Proporsi
yang lebih besar, yakni 49,3 persen, menyatakan citra Polri buruk.
Mereka menilai, tubuh Polri telah dikotori oleh sikap dan perilaku
aparat Polri yang mengingkari pedoman dasar pelaksanaan profesi polisi
yang tercantum di dalam Tribrata Polri.
Aroma uang
Bila
ditelisik lebih jauh, penilaian negatif terhadap citra Polri didorong
oleh pengetahuan responden survei terhadap sepak terjang aparat
kepolisian. Pengetahuan tersebut meliputi beberapa pernyataan terkait
pelaksanaan tugas kepolisian sebagai penegak hukum dan penjaga
ketertiban masyarakat.
Dalam kapasitas sebagai penjaga ketertiban
dan keamanan masyarakat, aparat kepolisian dinilai responden survei ini
cukup sigap merespons panggilan masyarakat ketika terjadi tindak
kejahatan. Satu dari tiga respon- den mengungkapkan hal itu. Namun,
penilaian yang cenderung negatif dinyatakan respon- den terkait proses
penindakan dan penegakan hukum.
Responden survei ini menilai
bahwa berurusan dengan polisi berarti menghabiskan waktu lama karena
urusan akan menjadi berbelit-belit. Satu dari tiga res- ponden
menyatakan berurusan dengan polisi sama artinya dengan mengeluarkan uang
”tambahan”, selain yang resmi.
Lebih dari itu, sikap
diskriminatif sering kali diterapkan oleh aparat kepolisian dalam
menyelesaikan perkara hukum. Menurut satu dari tiga responden, aparat
kepolisian cenderung enggan menindak pelaku kejahatan yang berkaitan
dengan pejabat ataupun orang-orang berduit. Pola penyikapan seperti ini
tak hanya didasari oleh pengetahuan tentang pelaksanaan profesi polisi,
tetapi juga dilandasi realitas yang dialami responden sehari-hari.
Paling
tidak, dalam setahun terakhir, sebagian besar respon- den pernah
berurusan dengan polisi terkait pengurusan sejumlah hal. Di antaranya
pengurusan surat keterangan kehilangan dan kelakuan baik, pengurusan
surat kendaraan bermotor, baik berupa surat izin mengemudi (SIM) ataupun
surat tanda nomor kendaraan (STNK), serta pengurusan perkara hukum.
Di
antara mereka yang pernah berhubungan dengan polisi, rata-rata separuh
responden memberikan insentif tambahan berupa uang kepada polisi, baik
diminta maupun atas inisiatif responden. Satu dari tiga responden
mengakui pernah memberikan uang karena diminta aparat terutama untuk
pengurusan SIM atau STNK serta perkara hukum terkait lalu lintas atau
tindak kriminal.
Praktik yang kental dengan aroma uang ini
disadari oleh responden sebagai akibat dari sistem yang lemah di dalam
tubuh kepolisian. Alih-alih memperkeras penegakan hukum di dalam
institusinya, Polri justru dinilai lemah dalam menegakkan etika profesi
bagi aparatnya. Tiga perempat responden menyatakan sistem di kepolisian
yang lemah menjadi faktor penentu buruknya kinerja mereka.
Terdapat
46,6 persen responden survei yang menyatakan penegakan hukum yang lemah
memberi kontribusi terhadap buruknya kinerja kepolisian. Adapun 28,9
persen menyebutkan faktor kepemimpinan Polri yang lemah dalam menegakkan
etika profesi mereka. Hal itu berarti faktor kesejahteraan polisi
dinilai responden tidak serta-merta menentukan baik buruknya kinerja
mereka.
Terkait sistem penegakan hukum di dalam tubuh Polri,
masih lekat di dalam ingatan masyarakat tentang kasus ”17 rekening
gendut” sejumlah petinggi Polri yang diungkap media massa. Hingga saat
ini belum terdengar kelanjutan langkah dari temuan tersebut.
Meskipun
beberapa aspek masih negatif, ada satu aspek yang masih mendapat
respons positif. Ketika ada kejahatan, polisi segera datang saat
dihubungi. Inilah satu-satunya modal positif polisi. Mayoritas (62
persen) responden mengungkapkan apresiasi positif ini. (BI Purwantari)
sumber : kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar