Rasanya barisan kata sudah tak cukup untuk menggambarkan betapa malunya
Kita akan insiden sepak bola gajah antara PSS Seleman versus PSIS
Semarang. Karena laga itulah sepak bola Indonesia kembali mendunia.
Ironisnya sepak bola Indonesia mendunia bukan karena titel juara
melainkan ulah mafia.
Tak bisa dibantah lagi, laga PSS versus
PSIS membuktikan bahwa di sepak bola Indonesia ada mafia yang bisa
mengatur jalannya laga. Apapun alasannya, mengatur hasilnya pertandingan
adalah bentuk kejahatan. Dan siapapun dia yang memerintahkan mencetak
gol ke gawang sendiri adalah mafia sepak bola.
Belum lagi
selesai kasus sepak bola gajah, kita kembali dikejutkan dengan langkah
PSSI memecat Indra Sjafri sebagai pelatih timnas U-19. Menurut Sekjen
PSSI, Joko Driyono, pemecatan tak terlepas hasil di Piala Asia U-19
bulan lalu. Karena tak berhasil tembus Piala Dunia U-20, Indra dianggap
gagal sehingga bisa ditendang begitu saja.
PSSI mungkin lupa,
tepat setahun lalu, Indra Sjafri berhasil mengantarkan sepak bola
Indonesia juara di Piala AFF U-19. Indra Sjafri pula yang membuat sepak
bola Indonesia mendapat sorotan langka karena prestasi bukan sensasi.
Indonesia
pun berhasil dibawanya menembus Piala Asia U-19. Ini setelah dalam
babak kualifikasi, Evan Dimas dan kawan-kawan membekuk raksasa Asia,
Korea Selatan.
Namun tak bisa dimungkiri bahwa keberhasilan itu
membawa ekspektasi berlebih, di luar akal sehat. Pun halnya, PSSI yang
langsung menggantung target tinggi-tinggi, empat besar di Piala Asia
U-19 dan lolos Piala Dunia U-20!
Dalam sejumlah kesempatan pun
Indra Sjafri tampak begitu percaya diri untuk mewujudkan target PSSI
itu. Tapi kecercayaan diri Indra masih wajar mengingat posisinya sebagai
pelatih kepala. Pelatih yang mesti terus memompa semangat dan
kepercayaan diri anak asuhnya.
Sehingga perkataan Indra yang
yakin anak asuhnya bisa mengimbangi Australia, Uzbekistan, dan Uni
Emirat Arab, boleh diartikan sebagai bagian dari strategi memelihara
kepercayaan diri pemain.
Sebaliknya, PSSI lupa diri. Target ke
Piala Dunia U-20 jadi harga mati. Sehingga kegagalan di Myanmar
diartikan oleh Badan Tim Nasional PSSI sebagai dosa besar. Pemecatan
Indra Sjafri pun jadi solusi yang ditempuh PSSI.
Sejak awal saya
mau tertawa melihat ulah PSSI ini. Mereka yang memecat Indra Sjafri
sejatinya telah kenyang dengan kegagalan membina sepak bola Indonesia
selama rentang dasawarsa.
Jangankan lolos ke Piala Dunia,
berprestasi di level Asia Tenggara saja Indonesia terakhir melakukannya
pada tahun 1991. Walhasil, Indra yang berhasil menuntaskan penantian
prestasi itu justru ditendang karena dicap gagal di level Asia.
Pertanyaan
saya pun sederhana, "Memangnya selama ini level sepak bola kita sudah
setara dengan Jepang atau Korea, sehingga kegagalan di Piala Asia adalah
kiamat?"
Duh...Rasanya bisa ratusan halaman koran dihabiskan
untuk membeberkan sederet kegagalan PSSI. Tapi nyatanya tak ada yang
pernah bisa menendang mereka dari sepak bola Indonesia.
Sebaliknya,
dua minggu kegagalan Indra Sjafri jadi dasar menilai sebuah
ketidakberhasilan membina sepak bola di level muda. Luar biasa memang
PSSI! Tampaknya, Anda-Anda lebih pantas menduduki kursi pengurus
federasi sepak bola Brasil atau Argentina, ketimbang Indonesia.
Sejatinya
kegagalan ataupun kekalahan berprestasi adalah hal yang biasa dalam
sepak bola. Indonesia pun tak perlu malu karena gagal di Piala Asia.
Yang
Indonesia perlu malu apabila kegagalan itu lebih dikarenakan
tangan-tangan mafia. Tangan-Tangan yang bisa mengatur hasil laga.
Tangan-tangan yang bisa mengatur lima gol bunuh diri ke gawang sendiri.
Celakanya,
dari pihak-pihak seperti itulah pejabat sepak bola Indonesia dipilih.
Sebab sejatinya pengurus PSSI yang ada saat ini adalah orang-orang yang
mendapat mandat suara dari klub seperti PSS dan PSIS.
Logis
rasanya apabila noda akibat sepak bola gajah Indonesia kini adalah
tanggungjawab PSSI. Mereka yang harusnya membuat surat pengunduran diri,
bukan lantas memecat Indra Sjafri.n
republica.co.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar